Suara.com - Kritikan publik menyasar ke sejumlah pasal dalam KUHP baru yang dianggap bermasalah, termasuk perihal perzinahan. Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan menilai ketentuan terkait perzinahan itu semestinya dimaknai sebagai bentuk upaya menjamin kepastian penegakan hukum pidana dan merupakan delik aduan.
Aturan terkait perzinahan itu diatur dalam Pasal 412 KUHP. Ayat 1 dijelaskan bahwa setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Kemudian pada Ayat 2 Pasal 412 KUHP diatur pihak-pihak yang dapat melakukan pengaduan. Mereka ialah suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan atau orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksanaan di sidang pengadilan belum dimulai. Limitnya pihak yang bisa mengadukan soal perzinahan tersebut dianggap Ade Irfan bisa mengurangi potensi munculnya main hakim sendiri.
"Pembatasan pihak-pihak yang dapat mengadukan tindak pidana perzinaan yang sifatnya limitatif, diantaranya oleh suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan serta orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan, justru dapat mengurangi risiko perilaku main hakim sendiri di tengah masyarakat," kata Ade Irfan dalam keterangan tertulisnya, Selasa (13/12/2022).
Ade Irfan lantas meminta kepada masyarakat untuk bisa mengkritik sesuai dengan porsinya. Sebab, selama ini pemerintah menilai kalau narasi yang berkembang perihal pasal perzinahan dalam KUHP dipenuhi dengan mispersepsi.
"KUHP sebagai manifestasi hukum pidana harus pula diuji pada koridor hukum pidana, karena memiliki karakteristik yang berbeda dengan ranah hukum lainnya," ucapnya.